Tulisan ini
dari kajian Jelajah Hati bersama Ust Syatori AR, diambil di link ini, dulu waktu di jogja saya suka sekali dengan kajian2 beliau, sampai sekarang pulang daerahpun saya mendonlod banyak sekali file kajian beliau :)
Jiwa adalah
karunia Allah, yang pada awalnya Allah ciptakan begitu sempurna untuk manusia.
Dimanakah jiwa
itu sekarang? Jiwa berada dalam raga kita.
Allah sampaikan
demikian dalam sumpah-Nya:
وَنَفْسٍ وَمَا
سَوَّاهَا
Demi jiwa (dengan) segala penyempurnaannya (Q.S. Asy
Syams: 7)
Allah tidak
pernah bersumpah dengan raga manusia, tetapi dengan jiwa manusia. Tidak pernah
Allah menyebut "Demi hidung" atau "demi kaki" atau
"demi otak".
Hal ini berarti
Allah benar-benar menaruh perhatian khusus bagi jiwa manusia.
Kita lebih
sering melihat orang lain dari fisik atau raganya dulu. Berbeda dengan Allah
yang melihat manusia hanya dari jiwanya saja.
Mari melihat
jiwa.
Jiwa yang utuh
akan membuat kita memandang kehidupan secara utuh.
Mari kita lihat
apakah jiwa kita utuh atau tidak.
Apa yang kita
rasakan jika terjadi perbedaan pendapat?
Orang yang
jiwanya utuh, akan melihat perbedaan pendapat seperti sarana tuk saling menguatkan.
Misal, ada
perbedaan pendapat:
1: Jadilah
pohon pisang: pantang mati sebelum mengeluarkan buah
2: Jangan
seperti pohon pisang: berbuah Cuma sekali dalam hidupnya.
Mana yang
benar? Dua-duanya benar. Maka jiwa yang utuh melihat perbedaan pendapat dengan
bijaksana dan dengan bingkai yang lebih menyeluruh.
Apa yang kita
pahami tentang hidup?
Coba jawab
dengan tepat. Apakah kita berpikir lama
untuk menjawab?
Seorang ibu
penjual gudeg jika ditanya, apa yang ibu pahami tentang gudeg?
Tentunya sang
ibu akan menjawab dengan cepat, tepat, dan begitu panjang.
Sekarang, jika
kita tanya kembali pada diri kita, apa yang kita pahami tentang hidup?
Lancarkah kita
menjawab? Jika jawaban kita begitu lama dan bingung, jangan-jangan sebenarnya
kita belum memahami esensi dari hidup itu sendiri?
Jangan-jangan
kita hanya memahami hidup bahwasannya hanya berdasar raga ini saja.
Padahal
pemahaman ini sangat berbahaya.
Misalkan
seperti ini,
Ketika kita
shalat, bisa jadi shalat hanya persoalan gerakan raga dan bukan pekerjaan jiwa.
Pernah dalam
sebuah taklim guru besar, dijelaskan tentang keutamaan shalat awal waktu. Saat
usai dijelaskan, salah seorang guru besar bertanya "pak ustadz, kalau
seandainya saya ada janjian dengan mahasiswa untuk bimbingan disertasi antara
waktu jam 12-15. Jika jam 14.30 itu mahasiswa itu baru datang, tentunya saya
tidak akan menyalahkan dia. Bukankah shalat juga seperti itu? Kalau dzuhur
antara jam 12-14, maka bukankah tidak salah jika saya shalat jam 13.30?"
Pertanyaan ini,
kita melihat bahwa shalat hanya dipahami sebagai pekerjaan raga. Padahal dalam
shalat tidak hanya unsur fiqih (aturan-aturan), tetapi juga ada akhlaknya.
Mereka yang menganggap shalat itu pekerjaan raga (saja) menjadikan shalat
hanyalah pekerjaan "numpang lewat".
Mari pahami hidup.
Hidup itu keseluruhannya adalah kebaikan.
Inilah bagian
dari kaidah hidup.
Bahwa hidup tak
hanya ada pada raga tetapi juga jiwa.
Bahwa hidup
keseluruhannya adalah kebaikan.
Tetapi bukankah
ada keburukan?
Keburukan yang
ada pun ada kebaikan di dalamnya.
Bagaimana bisa?
Yakni dengan
meninggalkan keburukan, bukankah akan lahir kebaikan dalam diri kita?
Kebaikan yang
luar biasa.
Orang-orang
yang jiwanya utuh,
Menjadikan
hidupnya sebagai hamparan kesempatan untuk melakukan kebaikan (saja).
Mereka yang jiwanya
tak utuh,
Menjadikan
hidupnya sebagai hamparan kesempatan untuk melakukan kebaikan dan atau melakukan keburukan.
Orang yg
jiwanya utuh,
Ibarat
menuangkan air ke dalam gelas yang utuh.
Bukankah kita
bisa menuangkan air dengan tenang, karena kita yakin gelas tersebut itu utuh,
tidak pecah, tidak retak.
Orang yang
jiwanya utuh,
Maka apapun
yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami dalam hidup, selalu menjadi
inspirasi untuk berbuat kebaikan.
Apa yang harus
kita perbuat agar jiwa ini utuh?
Allah adalah
Maha Segala-galanya.
Menciptakan
manusia dengan jiwa yang sempurna.
Dan Allah telah
pula menciptakan mekanisme agar manusia bisa menjaga keutuhan jiwanya.
Hidup adalah
perjalanan
Mari kita
pahami logika perjalanan.
Bukankah ketika
melakukan perjalanan berarti ada yang kita tinggal dan ada yang kita tuju
Maka apa yang
sebenarnya sedang kita tuju dan apa yang sedang kita tinggalkan?
Faktanya,
mereka yang utuh jiwanya,
Sedang
melakukan perjalanan dari kesenangan dunia menuju kesenangan akhirat.
Meninggalkan
kesenangan dunia bukan berarti kesengsaraan, karena Allah akan menggantikannya
dengan kesenangan akhirat.
Bukankah
sama-sama senang? Yang berbeda hanya dunia atau akhiratnya saja.
Dan tidak akan sampai kita pada kesenangan akhirat
jika kita masing senang akan dunia.
Ibaratnya kita
sedang di jogja mau ke jakarta, hal yang mustahil
kita sampai jakarta sedangkan kita masih di jogja.
Mari kita tes
diri kita, sampai sejauh mana perjalanan sudah kita tempuh.
Jika kita masih
mementingkan nonton bola dibanding shola t malam, maka bisa diartikan kehidupan
kita masih jalan di tempat. Belum sampai pada kesenangan akhirat.
Berarti kita ga
boleh mengumpulkan harta?
Harta adalah
bagian dari dunia. Namun bisa kita gunakan untuk kesenangan akhirat. Bukankah
yang menjadi titik persoalan adalah "kesenangan"nya, bukan
"harta"nya. Maka bersedekah 1 juta lebih terasa nikmatnya dibanding bersenang-senang dengan
membeli baju 1 juta. Menikah juga bagian dari dunia, namun dapat digunakan
sebagai kendaraan bersama menuju surga, bukankah ibadah berjamaah lebih baik
nilainya daripada sendirian?
Maka,
Jadikanlah
dunia yang kita cintai untuk mengejar surga. Yang cinta ini membuat kita semakin
merindu surga. Bukan cinta pada kesenangan dunia, tetapi cinta pada dunia,
cinta pada harta, cinta pada suami/isteri, cinta pada uang. Yang dengan harta
atau uang yang banyak bisa membuat kita bersedekah sebanyak-banyaknya.
Adapun
jiwa-jiwa yang pecah
Akan memandang
hidup ini sebagai kesempatan untuk berbuat keburukan.
Jiwa yang rusak
memiliki 3 indikasi, yakni:
o Dhulmun : lebih
mengutamakan-mendahulukan kesenangan dunia daripada kesenangan
akhirat. Mereka berbuat lebih karena "ingin" bukan karena "butuh".
Membeli baju karena ingin, melihat lawan jenis hanya karena ingin, berinternet
hanya karena ingin.
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
Tetapi kamu (orang-orang
kafir) memilih kehidupan duniawi.
(Q.S Al A'la: 16)
o Ananiyyun: memandang diri sebagai sosok yang istimewa
dan diistimewakan. Merasa susah jika kebagian duduk di belakang. Merasa kesal
jika tidak disapa. Merasa menjadi sosok yang harus dihormati.
o
Jahlun: bersahabat dengan sikap dan perbuatan yang tidak mencerahkan hidup
di akhirat. Nonton bola, baca komik, tentunya bukan contoh perbuatan yang
mencerahkan akhirat kita.
Semoga kita
bisa terus berusaha membuat jiwa kita utuh, karena raga yang dihidupi jiwa yang
utuh, bukan jiwa yang rusak, akan dapat memandang hidup ini secara utuh juga.
Jiwa yang utuh akan membuat semua peritiwa yang semula buruk menjadi lezat dan
nikmat, segala peristiwa serasa lapang dan menyenangkan. Benturan sekeras apapun akan membuat jiwa
semakin kuat, bukan membuat jiwa semakin pecah. Itulah jiwa yang
utuh. Ibarat petinju, ia menjadi kuat bukan karena jarang kena tinju atau
benturan, tetapi latihan-latihan beratlah yang membuatnya ia menjadi tahan
banting. Maka, benturan-benturan dalam hidup adalah sumber kokoh dan utuhnya
jiwa J
Komentar
Posting Komentar